Dion Bustaman
"Kabarnya
kamu bisnis batu?"
"Iya, Bos. Makanya tempo hari saya bisa lunasin hutang. Mumpung banyak orang Cina yang ngidam batu ini."
"Kok kamu nggak ngajak sih?"
"Aduh, Bos, tempo hari saya minta bos bayar batu sabun yg segede helm itu bos kan nggak mau, Itu kan cuma sejuta."
"Oya. masih ada nggak? Saya mau tuh."
"Walah, dah laku, bos, saya jual 48 juta."
"Iya, Bos. Makanya tempo hari saya bisa lunasin hutang. Mumpung banyak orang Cina yang ngidam batu ini."
"Kok kamu nggak ngajak sih?"
"Aduh, Bos, tempo hari saya minta bos bayar batu sabun yg segede helm itu bos kan nggak mau, Itu kan cuma sejuta."
"Oya. masih ada nggak? Saya mau tuh."
"Walah, dah laku, bos, saya jual 48 juta."
Dia terdiam karena saya tega benar bilang begitu. Tapi biarlah, habis sudah terlanjur. Saya ingat waktu mengajak si Bos 'hunting' batu sabun. Pas dapat, saya minta dia bayar batu itu, dia menolak.
"Saya pinjam aja sama bos sejuta. Secepatnya saya ganti, nggak sampai seminggu kok."
"Nggak ah. Yang 200 aja kamu blon bayar."
Saya diam, apa boleh buat karena usaha saya lagi benar benar bangkrut, hutang menumpuk, sampai beras pun hutang di warung.
Esoknya saya main di rumah teman sependeritaan yang sama sama bangkrut. Di situ lagi ramai karena ada orang lokasi yang minta dijualkan dua bongkah batu sabunnya, dimasukkan kedalam dua dus bekas supermi.
"Nah, ini orangnya.", sambil teman nunjuk saya.
"Kamu tetangga sama orang Taiwan kan? Nih ada batu sabun, tawarin gih!"
Saya perhatikan kedua batunya, warnanya orange matang ketika disorot dengan lampu senter.
"35 juta aja, kalau laku potong 5% buat komisi."
"Mahal ya. Saya musti tawarin berapa dong? Saya awam harga."
"Ya berapa aja, terserah, mau seratus, dua ratus, tergantung beraninya. Pokoknya gini aja, setor 32 juta aja, 10% tuh.".
Karena butuh, langsung batu itu saya angkut pakai Vespa tua kesayangan. Lalu saya minta nomor HP pemilik barang buat nanti kalau ada penawaran.
"Berapa ini mau jual?" bos Taiwan langsung tanya ketika saya sodorkan kedua batu itu. Saya bingung, berapa harus buka harga, Rp 100 juta kemahalan ?. Jangan jangan bos Taiwan tidak mau atau bisa bisa saya langsung disuruh pergi.
"Berapa bos berani?", tanya saya.
Setelah bolak-balik disenter, dia mengacungkan 2 jari. Dia tahu saya tidak fasih bahasa Mandarin walau mata saya sipit juga. Jadi dengan kode tangan pun cukuplah.
“Dua jari artinya dua puluh juta bos. Waduh, modalnya lebih bos."
"Dua ratus juta.!!", katanya setengah berteriak.
Saya cuma sekali nawar. Karena saya bingung, lalu sedikit menjauh untuk kontak pemilik barang dengan HP jadul. Singkat saja saya tanya.
"Habisnya berapa?"
"Potong 10%, ya 32 lah. Atau gini aja. 30 juta, tuan rumah nanti bagi."
Jantung saya berdebar seketika karena sudah ada kepastian. Tapi coba coba lagi deh..
"Bisa nawar lebih nggak bos?"
"Sudah. 210 juta aja, saya bayar kontan, kalau tidak bawa lagi sana. Kamu tetangga saya. jual batu bagus, daripada bikin mebel rumahan seperti kamu."
Saya ingat, dialah yg menyarankan saya bisnis batu. Kalau lagi booming pasti untung gede, lamunan saya waktu itu.
Dengan sedikit gemetar, saya hanya mengitung gepokan uang seratus ribuan, yang bos kasih. 21 gepok. Lalu saya minta kantong kresek.
"Cukup! Xie xie, laopan!" Saya beranikan diri mengucapkan terimakasih dengan bahasa Mandarin. Dia pun tersenyum.
" Kalau ada lagi, cepat bawa sini, lusa saya pulang ke Taiwan."
Saya mengangguk dengan senyum sumingrah. Bakal lunas semua hutang saya ke warung dan juga ke yang lain. Semua akan saya lunasin, pasti ini cukup.
Tapi bagaimana ya saya setor ke pemilik barang. Katanya cukup Rp. 30 juta. Waduh, kurang dari sejam untung kok sampe Rp. 180 juta. Gede banget. Kalau ketahuan saya jual begitu mahal gimana ya? Terus terang, apa jangan?. Rasanya tidak enak juga kalau ketahuan.
Saya mampir si Rumah Makan Padang, beli 5 bungkus nasi rendang perkedel, sambil menunggu, otak saya terus berputar.
Setelah parkir Vespa, saya masuk ke rumah kawan sambil menenteng 2 keresek besar.
"Wah, apaan tuh, duit?"
"Nasi padang bos, 5 bungkus nasi, yang satu ini buat di rumah saya. Oya, ini uang batu. 30 juta ya."
Saya menyerahkan 3 gepokan uang merah. Mereka bertiga sama sama menggitung. Lalu yg satu berdiri, menyodorkan tangan untuk salaman.
"Kalau ada lagi gimana? Taiwannya masih mau?"
"Kayaknya sih mau, tapi lusa dia dah pulang Taiwan."
Setelah basa-basi, mereka pamit. Tinggal saya dengan tuan rumah dan Asiung, teman sependeritaan yang baru datang. Nama samaranlah.
"Laku 32 apa 35?", tanya nyonya rumah sambil sibuk mengurus baju jemuran. Saya menyerahkan uang Rp. 2 juta sedang Asiung Rp 500 ribu sebagai uang kaget.
Keduanya senang. Nyonya rumah percaya saya walau tidak bilang berapa lakunya. Kalau pun tidak, apa urusannya, pikir saya.
Tapi di jalan pulang, saya jadi tidak enak hati, masak saya untung Rp.180 juta, nyonya rumah cuma kasih Rp. 2 juta?. Dengan ikhlas saya serahkan lagi tambahan Rp. 27 juta. Nyonya rumah melongo.
"Gede bener? Untung berapa sih, laku berapa?"
Nah, ini dia. Kalau saya terbuka pasti jadi masalah. Saya hanya senyum.
"Terima ajalah, cukup bayar utang kan?"
Beres disitu, saya pulang, serahkan semua uang keuntungan. Setengah percaya dihitungnya uang itu.
Anak bungsu saya langsung nyeletuk: " Bisa buat nebus ijasah dong Pah?"
Saya cuma mengangguk. Ingat waktu itu sudah 4 bulan dia lulus SMA dengan ranking 3. Bea siswa yang didapat tentu sudah kelewat. Terpaksa tunggu tahun depan.
"Beli beras 20 karung, lalu terus bagikan tetangga. Yang Rp. 100 juta simpan untuk modal kuliah nanti."
Baru jam satu siang
waktu itu, saya nekad dengan Vespa butut ke Sagaranten, lokasi batu sabun. Saya
temui pemilik batu sabun segede helm yg tempo hari dia minta Rp. 1 juta.
Dasar rejeki, batunya masih ada dan cukup bayar Rp 800.000 saja.
Hampir jam 9 malam, saya langsung temuin bos Taiwan. Saya tidak buka harga, biarkan dia saja yang menilai karena memang saya awam soal batu. Ada lebih syukur, balik modal juga tidak apa apa.Ternyata rejeki memang tidak bisa ditolak. Bos langsung bayar Rp. 48 juta.
Wow! Duit lagi....!
Beres transaksi, bos langsung menawarkan minum Kao Liang Phi Ciu, alkohol 58 %. Hadeuh, penyakit lama kambuh. Tapi lantaran dengan bos jadi tetangga, mana lagi untung gede, minumlah saya malam itu sampai mabuk.
Tawaran: " kan pei..."
" Kan pei ",sambil diiringi lagu mandarin "Phei Ciu...."
Dasar rejeki, batunya masih ada dan cukup bayar Rp 800.000 saja.
Hampir jam 9 malam, saya langsung temuin bos Taiwan. Saya tidak buka harga, biarkan dia saja yang menilai karena memang saya awam soal batu. Ada lebih syukur, balik modal juga tidak apa apa.Ternyata rejeki memang tidak bisa ditolak. Bos langsung bayar Rp. 48 juta.
Wow! Duit lagi....!
Beres transaksi, bos langsung menawarkan minum Kao Liang Phi Ciu, alkohol 58 %. Hadeuh, penyakit lama kambuh. Tapi lantaran dengan bos jadi tetangga, mana lagi untung gede, minumlah saya malam itu sampai mabuk.
Tawaran: " kan pei..."
" Kan pei ",sambil diiringi lagu mandarin "Phei Ciu...."