12/21/2018

BERDAGANG DI TEMPAT RAMAI

Wahyu Subiantoro

Location , Location, Location.

Saya sadar kalau produk saya yang batik tulis, kebaya dan produk ethnic itu bukan kebutuhan primer. Kebanyakan (potensial) customer lihat-lihat dahulu, dan syukur-syukur saya ingat meberi kartu nama sambil mengobrol : “kalau ada kebutuhan, nanti mampirnya di sini saja ya..”. Kebanyakan memang mampir lagi (tapi ya memang entah kapan).

Karena sifat produk saya yang begini, maka saya tidak mau membuka di tempat “mandiri”, seperti ruko atau buka di rumah. Karena saya sadar, berapa orang sih yang “bela-belain” mencari batik, puter balik (waktu lihat papan iklan di luar ruko) , parkir dan masuk toko mandiri seperti itu. Sering customer rada takut atau sungkan.

Buka di Mall atau tempat belanja itu lumayan enak. Kemungkinan produk/usaha kita ‘dilihat’ orang , lebih tinggi daripada di luar (asal ya jangan salah pilih Mall). Seperti kita rasakan kalau kita jadi pengunjung, mall ada ‘kelas’nya sesuai dengan segment yang ingin mereka bidik.

Mall tempat saya buka bukan mall kelas atas. Tidak ada high-end tenants seperti L*uis Vuitt*n atau G*cci nya. Paling juga M*t*h*ri Dept.Store. Jadi memang mall kelas menengah. Cocok dengan segmen yang mau saya bidik.

Lalu lokasi dalam Mall.
Tahu sendiri, dalam mall yang sama, ada lokasi favorit seperti lantai utama (Ground Floor), biasanya ini lantai tempat atrium berada. Jarak lantai-langit-langit relatif lebih tinggi dibanding lantai-lantai lainnya. Dan karena ini akses utama, biasanya ‘anchor tenants’ alias penyewa utama seperti M*t*h*ri Dept. Store berada di sini.
Ini penting, karena sifat anchor tenant adalah salah satu penarik utama traffic pengunjung. Jadi, dari parkiran dan akses masuk mall,pengunjung biasanya akan melangkah ke sini.

Lokasi atrium dan ruang terbuka lain juga penting, karena sering dilakukan banyak acara dan promosi, sehingga pengunjung bergerombol (dan outlet kita lebih sering dilirik orang).
Tetapi ada juga tidak enaknya, kalau acara atau pameran yang sedang berlangsung itu, memasang booth atau propertinya terlalu tinggi, sehingga outlet kita tertutup property mereka (walaupun biasanya di mall ada ketentuan tinggi maksimum untuk properti pameran, tetapi rasanya ini tidak berlaku di atrium utama).

Lokasi favorit lain adalah di jalan utama, karena biasanya adalah akses pengunjung untuk menuju pusat-pusat atraksi di mall tersebut (ya anchor tenant itu, atau section/area khusus seperti foodcourt). Kalau tidak bisa di akses utama, di second-road nya juga masih ok, asalkan masih bisa kelihatan dari jalan utama, dan dekat outlet-outlet yang ramai.

Sebenarnya ada bagusnya, mall menetapkan zona khusus. Ada yang zona fashion saja, kadang malah dibuat spesifik seperti ‘kampung batik’ . Tidak perlu kuatir persaingan barang sejenis, karena justru dengan ‘bergerombol’ ini pengunjung yang berniat mencari produk tersebut, biasanya lebih suka ke area begini (karena banyak pilihan).

Seperti di sebelah saya, ada 6 outlet wedding organizer. Awalnya hanya 2 outlet, tetapi lama-lama jadi 6. Saingan ? iya pasti. Tapi karena berngumpul , lokasi ini malah terkenal dan jadi tempat ‘jujugan’ banyak calon manten (dibandingkan outlet yang buka sendiri di pojok sono). Nah, ramai deh (kalau sudah banyak calon customer, pandai-pandai kita-lah mengemas produk kita biar menarik.

Akhirnya, dengan begitu banyak pertimbangan baik yang didapat dari teori maupun pengalaman, memang kita tidak dapat memperhitungkan semua variabel lokasi (kebanyakan analisis, tidak jadi membuka). Dan memang ada hal-hal yang di luar teori, namun (kelihatan) berhasil . 


Contohnya, ada toko peralatan selam, buka di area basement, campur dengan craft center. Atau outlet kaus dan asesoris Punk/Underground yang buka di lantai UG di gang sepi, dan sebelahan dengan outlet merchandise K-Pop yang nyempil tapi banyak anak abegeh tahu (ternyata toko ini eksis di medsos), atau seperti saya yang salah buka outlet di section sepi, tetapi ternyata tertolong gara gara ada Samsat Corner dan Pegadaian di depan.
Yang penting cukup dianalisis, usaha dibuka, kerja keras, lalu serahkan sama Yang Diatas.

Sebagai tambahan, mungkin bisa dipertimbangkan, apakah mall yang akan kita pilih ini, bagian dari konsorsium/group mall , atau mall 'satuan' .
Karena dari pengalaman/pengamatan saya, grup pengembang mall yang punya beberapa mall, biasanya lebih gencar dalam berpromosi dan melakukan program program customer. Dan gaung-nya (ke mass media) jadi lebih kedengaran, karena melibatkan lebih banyak mall serta skala programnya lebih besar.
Di Surabaya ada grup mall dalam management Pak*w*n Grup, di Jakarta mungkin Ag*ng Podom*r* dan Lip** .
Well.debate-able.