12/19/2018

KEKUATAN CERITA KOPI



Adi Fuad

Awalnya saya bekerja di Biro wisata di jember, Jawa Timur  oleh karena ada peristiwa kecelakaan bus di daerah Jawa Tengah, akhirnya istri meminta saya berhenti jalan, karena risiko perjalanan yang tinggi.

Setelah beberapa waktu vakum dan tidak berpenghasilan, saya pulang kerumah ibu di daerah pedesaan yang jauh dari kota Jember. Kebetulan ibu juga mempunyai stok kopi dari kebun yang lumayan banyak, saya akhirnya mencoba membuat kemasan kopi bubuk.

Dan kebetulan juga di desa ibu saya banyak janda janda yang tidak mempunyai pekerjaan tetap, saya ambil keputusan untuk membuat kopi tradisional yang tidak diolah dengan mesin, tapi diolah dg cara tradisional, diroasting dengan wajan tanah liat dan ditumbuk dengan lesung dengan tenaga produksinya dari janda janda sekitar rumah.


Awal pemasaran ternyata tidak sesuai dengan ekspektasi, karena juga tidak mempunyai ijin edar.
Setelah 6 bulan menunggu perijinan PIRT keluar, akhirnya saya berinovasi dengan membuat kemasan dan menciptakan trade mark kan ketradisionalan kopi saya.

Alhamdulillah, setelah keluar ijin edar PIRT, penjualan mulai merangkak naik sedikit demi sedikit.
Memang mutu kopi saya jauh dengan kopi yang sudah terkenal, karena kopi saya adalah kopi Robusta yang notabene kurang diminati pecinta kopi.


Setelah mempelajari teknik pemasaran dari beberapa rekan dan juga pembelajaran tentang kemasan dari beberapa pihak, termasuk dari anggota grup disini, akhirnya saya mempunyai teknik tersendiri.

Memang kopi saya adalah kopi lokal tidak terkenal, tapi dengan kekuatan cerita, alhamdulillah para konsumen mulai suka dan kopi saya mendapat tempat di hati mereka..

Intinya dari pengalaman yang saya dapat, kekuatan cerita, dan penjelasan tentang proses suatu produk sangat membantu dalam pemasaran.
Maaf tulisan saya blepotan, maklum newbie dalam hal tulis menulis.

Jangan patah semangat, teruskanlah berinovasi, karena tidak ada yang tidak bisa

SARJANA HUKUM JUAL BUAH



Endah Puspaningrum


Saya sekolah mendalami ilmu hukum, tapi ketika melihat kebobrokan mafia hukum dan sepertinya tidak ada yang bisa saya perbuat maka saya memutuskan untuk tidak bekerja di bidang itu. Ilmu hanya untuk saya praktekkan buat diri sendiri dulu.

Selepas kuliah saya masih berusaha mencari pekerjaan kantoran. Tapi kok kayaknya standar gajinya belum ada yang sesuai dengan harapan saya. Setelah lelah akhirnya saya dan suami memutuskan menikah tanpa pekerjaan. Nekat ya ?. Iya, sampai sekarangpun saya masih belum percaya dulu berani mengambil keputusan itu. Tapi inilah titik awal yang membuat kami akhirnya jadi wiraswasta, karenakepepet.

Menikah baru sebulan saya hamil dan harus sakit terus menerus, pas kandungan usia 4 bulan ada toko dikontrakkan di pasar. Nekad, meminjam uang mertua, lalu kami kontrak.
Tapi kami tidak tau apa yang harus kami jual. Modal tidak punya, apalagi keahlian berdagang.



Setelah berdiskusi denan suami, maka kami akan meneruskan usaha pemilik terdahulu. Pemilik toko adalah orang sepuh yang berjualan buah dann setelah meninggal toko dikontrakkan pada kami. Jadilah kami jualan buah karena modalnya relatif kecil.

Awal berjualan banyak banget orang yang nyinyir :
"Dikuliahkan orang tua dengan susah payah, ternyata cuman berjualan buah di pasar, mending anak saya, tidak usah sekolah tinggi tinggi, kalau tidak bisa menjadi pegawai".. Omongan itu adalah makanan kami sehari hari. Kami hanya menelan ludah pahit banget.

Tapi Gusti Allah maha baik, jualan kami laris. Rambutan 2 ton bisa habis hanya dalam sehari dua hari. Waktu itu ambilnya Rp.1.500,- dan kami bisa jual Rp. 2.500,-. Omongan orang adalah cambuk bagi kami untuk terus berinovasi,

Apalagi ya yang bisa kita lakukan biar tidak stuck di situ? Akhirnya kami melirik mainan anak dan camilan camilan yang berbentuk lucu. Kami tarik anak anak lebih dahulu untuk membangun brand. Kami percaya kalo anak anak sudah merengek pada orang tuanya pasti mereka otomatis menyebut toko kami dan lama lama orang tuanya akan familiar dengan kami.

Baru berjalan 2 tahun ( dari kontrak 5 thn), ahli waris pemilik toko mau menjual tokonya, karena butuh uang. Inilah pertama kalinya kami kenal dengan Bank .😁
Tidak berdaya, karena baru memulai usaha, belum lagi buat biaya persalinan karena harus SC, kami harus membayar toko. Akhirnya berbekal Sertifikat milik orang tua kami masuk ke Bank.
Itu adalah awal perjalanan kami, selanjutnya kami bisa menggalang dana sendiri



Pada akhirnya bisa beli toko yang saya kontrak, setelah hutang ke Bank. Dan ternyata dari hasil yang tidak besar, berhasil membayar angsuran dengan baik.
Masalah selanjutnya adalah tempat tinggal karena rang tua saya tidak menyediakan tempat tinggal setelah saya menikah. “Pikiren dewe”, itu istilah almarhum ibu pada saya. Ibu hanya bisa menyekolahkan.

Sementara suami dua bersaudara dan kakaknya beserta keluarga kecilnya sudah menumpang di rumah mertua.  Untuk budaya orang Jawa, tidak boleh tinggal 3 pasangan dalam satu rumah. Kami putar otak, setelah menikah dan akhirnya kami "nunut" di rumah nenek dengan konsekuensi menanggung seluruh biaya keperluan rumah. Pas 2 tahun selesai menggangsur toko, rumah disebelah nenek pas di jual. Nah ini skenario Gusti Allah yang pas banget.

Nekad, masuk ke Bank BRI lagi.Tidak berhenti di sini, kami selalu memikirkan inovasi yang bisa kami lakukan untuk usaha kami. Masak kami yang sarjana, melakukan hal yang sama saja, mestinya harus bisa agak lain, itu istilah kami. Kami ingin menunjukkan pada lingkungan kami,, bahwa tidak rugi menyekolahin anak, walau tidak mejadi pegawai yang tiap hari pakai seragam dan bersepatu, kami juga bisa unjuk gigi 😁

Akhirnya kami menambah varian dagangan yang semula makanan ringan dan mainan, tambah palen dan rokok. Alhamdulillah, akhirnya bertambah lagi sembako.
Setelah tau rasanya karena beli beli, jadi ketagihan.
Dan itu jadi target kami selanjutnya. Selalu beli properti atau apalah., yang penting tiap tahun ada target yang harus tercapai.

Setelah sekian tahun berusaha, saya rasa hutang di Bank memberatkan. Di daerah kami hanya ada Bank BRI dan ketika saya ambil dulu, rata rata bunganya 2% per bulan. Dari sinilah kami cari alternatif baru, ini juga yang ingin saya bagi ceritanya dengan teman teman.

Kenapa saya tidak memanfaatkan potensi yang ada di srkitar saya ? Karena tempat usaha kami di pasar, kami membuka kesempatan pada pedagang lain untuk menaruh uang mereka yang ngganggur di tempat saya dengan catatan uang itu saya kembalikan pas puasa, sebelum lebaran dengan tambahan hasil, berupa kebutuhan pokok.  Saya tidak harus pinjam Bank BRI dengan bunga yang tinggi. Mereka juga bisa menyimpan uang dengan imbal hasil yang lebih besar dari pada di taruh di Bank.

Semua yang saya uraikan di atas adalah gambaran kasar usaha saya. Dan semua itu bisa saya capai karena banyak faktor. Tapi faktor terpenting adalah :
1. Karena Allah sayang saya
2. Disiplin tingkat tinggi
3. Trust.

Jika saya tidak dipercaya pasti tidak akan ada orang yang naruh uang kepada saya, dan sampai saat ini saya berusaha selalu menepati semua ucapan saya. Jika karena sesuatu hal yang tidak bisa saya hindari, saya akan selalu bicara dan minta maaf.

Jadi inti dari wiraswasta adalah disiplin dan kepercayaan. Percayalah, jika orang percaya, maka jalan anda akan terbuka dengan sendirinya.

Sebagai penutup, saya ingin teman teman juga mencoba berusaha. Walau awalnya kecil, jika kita konsisten dan tidak cepat putus asa, pasti akan banyak tangan tangan terulur membantu anda. Itu adalah tangan Tuhan...
Kisah yang agak tidak enak tidak usah diceritakan, biar tidak pada takut untuk berwiraswasta 
😁



Salam wiraswasta 💪

Top of Form




                                    ***