Fajar Frankenstein *)
Mbah
Kakung dan bapak saya, guru SMP dengan pangkat golongan 2b dan setelah pensiun
menjadi golongan 3a. Mengandalkan gajian dari mengajar. tidak bakalan cukup
untuk memenuhi kebutuhan sehari hari dan membiayai sekolah dan kuliah saya.
Maka
mbah Kakung, di samping di pagi hari sampai jam 2 siang mengajar di SMP N 2
Karangdowo, juga melakukan usaha ternak ayam petelur. Karena gaji pas pasan
maka memelihara ayam petelur itupun secara bertahap, mulai dari 100 ekor, kemudian
200 ekor hingga 700 ekor, record jumlah populasi ternak yang di handle oleh
Mbah Kakung dan saya teruskan hingga pop 2.000 ekor. Kenapa tidak menambah
jumlah ternak, karena merasa cukup dengan penghasilan yang di terima.
Berulang
kali Mbah Kakung cerita di banyak pertemuan atau teman yang datang ke rumah,
membanggakan membiayai kuliah saya dengan hasil dari ternak ayam yang tidak
seberapa banyak itu, bukan dari pendapatan gaji mengajar di sekolah.
Sebab
menurut Mbah Kakung tidak akan sanggup membiayai kuliah saya jika tidak
memiliki usaha ternak petelur tersebut. Jadi tujuan utama Mbah kakung
menjalankan usaha ternak untuk membiayai kuliah jurusan peternakan yang saya
ambil.
Sampai
di sini, memulai usaha ternak itu bukan karena faktor jumlah ideal untuk
memulai, tapi seberapa cukup dana yang tersedia, 100 ekor, atau 200 ekor atau disesuaikan
dengan tujuan target yang ingin di capai.
Ada
suami yang memelihara ternak petelur, disamping pekerjaan menggarap sawah yang
dilakukan dan istrinya yang dagang di pasar, suami ini untuk mengisi waktu
luang setelah membantu istri di pasar dan garap sawah, waktu luang yang tersisa
untuk nambah kegiatan ternak ayam petelur. Kegiatan beternak itu mana mungkin
mereka jalani tahunan jika tidak mendapatkan hasil
Buruh
pabrik, teman dari Magelang dan persiapan masuk perkawinan, usaha ayam petelur,
dulunya 20 ekor, sekarang jadi 100 ekor. Waktu saya tanya kenapa melakukan itu,
apa tidak lelah ?. Jawabnya lelah, tapi usaha yang masih kecil ini saya niatkan
untuk belajar dan langsung praktek di lapangan, yang suatu saat nanti bisa saya
kembangkan ke jumlah yang lebih besar. Inilah yang namanya setia menjalani
proses……….
Ratusan
peternak rakyat, peternak gurem di wilayah Jateng DIY, yang hanya kepemilikan
100 ekor, 300 ekor dan ada yang 500 ekor. Selama bertahun tahun menekuni usaha
ternak petelur tersebut, kalau di tanya jawabnya selalu merendah, “ Kamdulillah
mas bisa nyangoni putu setiap kali berangkat sekolah sudah senang saya” Padahal
si mbah ini dengan populasi 300 ekor pendapatan per bulan lumayan Rp. 3 jutaan
di hitung dari harga telur sekarang Rp. 21.000 – Rp. 22.000/kg.
Kaerena
sudah 300 ekor berarti kita anggap beres soal biaya pengadaan pullet, ovk dll,
sebab biasanya peliharaan 300 ekor itu tidak satu usia yang sama tapi beda bisa
2 tahap peliharaan yang berbeda, yang satu usia 8 bulan sudah produksi yang
kelompok lain baru Chick Inn, jadi saling bisa memberikan subsidi silang antar
kelompok kandang berbeda, Mbah Kakung, ayah saya juga melakukan sistem seperti
itu.
Harga
jagung Rp. 4.500/kg, katul Rp.3.000/kg, konsentrat Rp.7.700/kg( per sak 385.000
) . Dengan harga itu akan di dapatkan harga pakan Rp. 5.400 – 5.500/kg dan jika
di tambahkan biaya mineral mix, toksin binder, enzim dan asam amino, harga
pakan menjadi Rp. 5.800/kg
Maka
untuk 100 ekor, biaya pakan 12 kg X Rp 5.800 =
Rp. 69.600 atau dibulatkan Rp. 70.000/100 ekor/hari.
Dengan harga jual telur Rp. 20.000/kg akan menjadi impas dengan produksi telur
3,5 kg/hari
Produksi
telur 80% atau 80 butir, sedang 1 kg telur terdiri 17 butir, jadi 80 butir =
4,7 kg telur
4,7kg – 3,5kg = 1,2 kg telur X Rp. 20.000/kg x 30 hari = Rp. 720.000/bulan
Seperti
dijelaskan diatas, biaya 100 ekor adalah sebesar Rp. 70.000/hari. Tapi real di
lapangan biaya harian lebih rendah dari Rp.70.000/hari. Banyak peternak rakyat
yang mendapatkan harga pakan seharga Rp. 4.500 – Rp. 4.800/kg. Jadi keuntungan
akan semakin besar, bisa Rp. 3 – Rp. 4 juta per bulan, dengan pop 300 ekor. Tapi coba anggap saja pendapatan pop 100 ekor
= Rp. 600.000/bulan. Jika memeelihara 300 ekor, maka pendapatan bersih
menjadi Rp 1.800.000.
Untuk peternak rakyat mandiri pendapatan sebesar itu sudah bisa membantu untuk
mencukupi kebutuhan sehari hari dan memenuhi tanggungan biaya pendidikan anak
anaknya.
Potensi
keuntungan semacam itu yang ingin diraih oleh teman teman peternak rakyat
mandiri, sudah di terima dengan hati yang lapang, tidak hanya sekedar hobby.
Pendapatan
peternak Rp. 1,8 juta/bulan sebanding dengan UMR daerah itu tidak disebut lagi sekedar
hobby. Apa harus berpendapatan Rp. 6-10 juta perbulan baru bisa di sebut dengan
kriteria bisnis.
Sebab
peternakan kecil adalah peternakan Mandiri, semua di tangani sendiri, semua
lini dimaksimalkan hingga peternakan menjadi efisien agar tahan terhadap
goncangan naik turun harga telur. Peternakan yang efisien semua di tangani sendiri,
apalagi ini baru tahap awal ke pop yang lebih besar.
Jika
peternak pemula harus memulai ternak pop 500 ekor dengan asumsi modal kisaran Rp.50
– Rp. 60 juta, maka selamanya hanya orang orang merasa kaya saja yang akan
beternak.
Orang
orang merasa kaya saja yang akan sanggup beternak atau :
1. Baru mendapat warisan sekoper nilainya baru bisa ternak
2. Nguli jadi TKI pulang baru bisa ternak
3. Ngutang bank
Anggota
grup ayam petelur kebanyakan masih tahap pemula atau baru akan mengembangkan ke
populasi yang lebih besar lagi.
Buat kawan kawan peternak pemula yang baru mampu merintis ternak
petelur pop 100-300 ekor jangan menyurutkan langkah anda untuk memulai usaha
peternakan ayam petelur.
Top of
Form
*) copas dari tulian Betha Sutrisno,dari
grup komunitas peternak ayam indonesia..dengan judul Orang miskin dilarang
ternak