Muhamad
Habibi
Sadarkah
kita, bahwa skill yang dimiliki bisa menjadi modal usaha sendiri ? Sudah banyak
contohnya seperti Dokter bisa buka klinik sendiri atau Sarjana hukum bisa buka
firma hukum sendiri, lalu desainer grafis bisa buka usaha creative agency
sendiri.Begitu juga Programmer bisa buka usaha software house sendiri. Sedang Internet marketer
bisa buka online shop sendiri.
Itu memang
kategori hard skill yang artinya skill teknis yang didapat dari pendidikan. Tetapi
tidak semua orang mempunyai kesempatan dan kemampuan yang sama untuk itu.
Bagaimana jika tidak punya skill teknis ? Jika Anda tidak punya skill teknis, maka minimal dapatkanlah knowledge atau pengetahuan.
Bagaimana jika tidak punya skill teknis ? Jika Anda tidak punya skill teknis, maka minimal dapatkanlah knowledge atau pengetahuan.
Programmer
Beda antara skill dan knowledge adalah demikian. Kalau mempunyai skill, anda sendiri harus bisa menjalankan teknisnya. Sedangkan knowledge, tidak harus punya skill teknisnya, tapi anda tahu "alur ceritanya", cara dan jalannya. Tunjuk saja orang lain (karyawan/subkontrak) untuk mengerjakan teknisnya. Yang penting anda tahu apa yang harus dilakukan, outputnya bagaimana, termasuk aspek-aspek QA nya seperti apa.
Beda antara skill dan knowledge adalah demikian. Kalau mempunyai skill, anda sendiri harus bisa menjalankan teknisnya. Sedangkan knowledge, tidak harus punya skill teknisnya, tapi anda tahu "alur ceritanya", cara dan jalannya. Tunjuk saja orang lain (karyawan/subkontrak) untuk mengerjakan teknisnya. Yang penting anda tahu apa yang harus dilakukan, outputnya bagaimana, termasuk aspek-aspek QA nya seperti apa.
Sebagai
contoh, saya lulusan IT, tapi saya pernah berbisnis offset printing/percetakan
offset selama +/- 10 tahun sebelum akhirnya membuka usaha berbasis IT. Usaha
percetakan tsb saya likuidasi pada bulan April 2014.
Offset printing
Singkatnya, saya tidak mengetahui dunia cetak mencetak, tetapi saya berani menyemplung di usaha itu karena ada kesempatan untuk mensuplai cetakan ke sebuah penerbit besar di kota saya. Jumlahnya tidak main-main : 50 ribu eksemplar buku per judul per bulan. Tapi sekali lagi, saya nol besar soal percetakan.
Offset printing
Singkatnya, saya tidak mengetahui dunia cetak mencetak, tetapi saya berani menyemplung di usaha itu karena ada kesempatan untuk mensuplai cetakan ke sebuah penerbit besar di kota saya. Jumlahnya tidak main-main : 50 ribu eksemplar buku per judul per bulan. Tapi sekali lagi, saya nol besar soal percetakan.
Lalu bagaimana mendapatkan knowledge/pengetahuan ?
Tahap pertama, harus banyak baca informasi. Zaman now, internet bisa menjadi acuan untuk memulai. Browsinglah situs-situs web dan forum-forum yang mendukung usaha anda. Dari situ, anda akan punya dasar pengetahuan.
Waktu itu internet belum berkembang seperti sekarang, jadi praktis informasi yang saya dapatkan sangat terbatas. Untung ada tahapan berikutnya.
Tahap
kedua, perluas jejaring. Berkat beberapa relasi, saya bisa "magang"
di sebuah percetakan di kota saya. Dari situ saya pelajari secara ringkas aspek
produksi, operasional, dan tentu saja aspek kalkulasi bisnisnya.
Dari sini saya juga tahu bahwa proses bisnis percetakan sering melibatkan beberapa sub/vendor; istilahnya “lempar luar”.
Hasil dari "magang" adalah tahu apa saja proses yang harus dilakukan ketika dapat order cetakan, termasuk mengkalkulasi biayanya.
Penting dicatat bahwa di tahap kedua inilah kita bisa memutuskan akan lanjut atau tidak.
Dari sini saya juga tahu bahwa proses bisnis percetakan sering melibatkan beberapa sub/vendor; istilahnya “lempar luar”.
Hasil dari "magang" adalah tahu apa saja proses yang harus dilakukan ketika dapat order cetakan, termasuk mengkalkulasi biayanya.
Penting dicatat bahwa di tahap kedua inilah kita bisa memutuskan akan lanjut atau tidak.
Tahap
ketiga, terjun langsung yaitu dilakukan setelah kedua tahap sebelumnya
dilakukan.
Lalu,
apakah semuanya lancar ? Jawabnya, tidak 10% lancar, karena saya hanya punya knowledge, bukan skill, maka di tahap awal saya jadi
belajar dari operasional lapangan.
Salah cetak, mesin rusak, "dikerjain" karyawan, "dikerjain" vendor, dsb.
Salah cetak, mesin rusak, "dikerjain" karyawan, "dikerjain" vendor, dsb.
Tapi tidak apa apa karena itulah resiko bisnis. Karena saya sudah punya knowledge, ditambah pengalaman lapangan, meskipun saya tidak pernah pegang mesin cetak tetapi saya jadi semakin mengetahui bagaimana menjalankan bisnis percetakan, dan dari situ semakin terbuka jalan dan peluang di bisnis tsb.
Knowledge
yang didapat dari pembelajaran dan pengalaman itu sama berharganya dengan skill
dan pengalaman.
No comments:
Post a Comment