Moh Wisnu Abadi
Tahun 2000, saya bertiga dengan teman merencanakan sebuah bisnis Kartu Ucapan
(KU) . Tapi sebelumnya kami melakukan business-mapping & business strategy
selama hampir setahun, sehingga akhirnya baru kami launching di tahun 2001.
Selama
proses tersebut, kami melakukan riset amatir terkait target konsumen kami,
usia, jenis kartu ucapan, dan dimana kami harus berproduksi. Kami menemukan ada
2 tipe KU, yg pertama adalah KU musiman seperti KU Natal, Idul Fitri, Valentine
dll. Yang kedua adalah KU sepanjang masa (SM) , yaitu KU Cinta seperti I love
you, happy birthday dll.
KU
musiman hanya bisa dijual di bulan bulan tertentu, sehingga kami memutuskan
untuk tidak melakukan itu. KU Sepanjang Masa (SM) bisa terjual sepanjang tahun
dan akhirnya kami memilih ini. Market Leader saat itu adalah Hallmark untuk yang
premium dan Forever Friend yg reguler. Di pasaran kami menemukan banyak sekali
merek merek sejenis yang bersaing di KU SM, seperti Capricorn dll.
Kebetulan
saat itu saya telah membaca buku perjalanan bisnis CEO Komputer merk Acer yg
berjudul "Me Too is NOT My Style" (Saya Juga itu BUKAN gaya saya).
Pada masa itu dapat kita lihat bahwa terjadi sebuah euforia bisnis, dimana bila
1 orang membuka warnet atau cafe maka puluhan orang lain melakukan bisnis yang
sama. Hal ini berujung lebih banyak yang jualan daripada yang membeli.
Hal
ini berakibat mengubah pola mindset saya dengan kawan kawan. Daripada berebut
roti yang sama dan hanya mendapat remah remah roti, lebih baik bikin roti
sendiri untuk saya makan sendirian, tidak ada pesaing dan unik (Niche Market).
Yaitu I HATE YOU Cards (Kartu SAYA BENCI KAMU).
Kenapa?
Simple saja.Ada orang yang jatuh cinta maka pasti ada orang yang patah hati.
Akhirnya kami sepakat menjalankan ide "Gila", yaitu
siapa sih yang akan mengirimkan kartu "kemarahan" akibat dilukai dan
diputus oleh orang yang tersayang. Ada pangsa pasarnya kah ?. Tapi akhirnya
kami memutuskan untuk berspekulasi dan tetap pada ide gila ini.
Added
Value
Untuk menambahkan nilai jual Kartu Ucapan (KU), kami mencari ketebalan dan
berat gram yang sesuai. Malah supaya high class, kami sengaja memilih kertas yang
memiliki tekstur timbul. Kami juga tambahkan amplop berwarna khusus didalam
kemasan plastik.
Target Market
Dari hasil riset amatir, kami berkesimpulan bahwa mayoritas pembeli kartu
adalah SMP hingga Universitas, usia 15-25 tahun dan wanita.
Yang jadi masalah adalah orang cenderung meng-asosiasikan (mengkaitkan) dirinya
dengan kartu tsb. Jadi misalnya pembeli wanita akan membeli kartu yang
bergambar wanita ataupun sejenisnya.
Oleh karena itu kami memutuskan untuk menggambar sebuah karakter
baru yang sex clueless (tidak jelas jenis kelaminnya) supaya baik pria dan
wanita bisa terhubung dengan pesan didalam kartu. Dan Ageless (tidak berumur)
supaya semua umur jang tertarik. Dan hasil ini harus terlihat di kartu.
Pricing
Kami memikirkan sebuah psikologis harga yang membuat orang mau membayar untuk
kartu tersebut. Belajar dari meroketnya harga kartu Hallmark dari Rp. 10.000 ke Rp. 30.000, akibat melemahnya Rupiah terhadap dolar, Hallmark
mensiasatinya dengan meluncurkan produk second line-nya, yaitu Forever Friend
dengan harga hanya Rp. 5.000 dan berakibat best seller. Maka kami memutuskan
untuk harga KU kami juga harus di kisaran Rp. 5.000. Sebab bila tidak maka
orang akan memilih produk yang lebih terkenal daripada produk kami.
Produksi 1
Utk menekan biaya, kami berusaha mencari percetakan termurah. Yang berakibat
buruknya kualitas setiap seri kartu kami dengan terjadinya gradasi warna yg
berbeda-beda. Dan berakibat banyaknya KU yang tidak lolos QC dari kami.
Ketakutan
Kami menyetorkan nilai yang sama sebagai ongkos produksi. Namun ketika kartu
kartu itu hadir, saya stress. Karena Uang tabungan saya bekerja hanya akan
menjadi uang bila ada yang terjual
.
Pemasaran
Ketika seorang teman syaya memberanikan diri utk menawarkan kartu kami ke
Jaringan Toko Buku Kharisma (Pesaing Gramedia dan Gunung Agung). Ternyata kami
bernasib baik. Purchasing tertarik dengan ide "Gila" kami dan
bersedia bekerja sama dengan sistem konsinyasi. Kekurangannya adalah dia
meminta profit 40% dari harga jual dan dibayar berdasarkan setiap kartu yang
terjual. Syarat kedua adalah kami hanya menjual produk kami di jaringan toko
buku tsb.
SUKSES
Tanpa kami duga ternyata sambutannya bagus sekali. Penjualannya laris manis.
Dan kami BEP ongkos produksi hanya dalam beberapa bulan, karena di beberapa
toko terjadi Sold Out. Proyeksi kami dlm 3 tahun tertutup hanya dalam 1 tahun
saja. Dimana kami memutuskan merilis serie kedua dalam tempo 6 bulan setelah yang
pertama.
Mabuk
Kami bertiga seketika merasa mabuk kebahagiaan. Karena pangsa pasar yang kami
kira TIDAK ADA itu ternyata ADA. Spekulasi kami terbayar. Prinsip lebih baik
bikin kue sendiri, meskipun kecil (niche) tapi itu milik kami semua karena
belum adanya pesaing yang sama.
Setelah beberapa waktu barulah kami mengetahui bahwa apa yg kami
lakukan itu namanya Blue Ocean, karena pasar sudah menjadi Red Ocean akibat
jenuh dengan Kartu Ucapan (KU) yg positif. Sementara kami adalah satu satunyanya
yg nekat saat itu, dengan menjual NEGATIF cards.
Strategy Merek untuk Marketing
Pada saat itu merek yang kami pakai adalah Lifetime Indonesia. Kenapa berbahasa
Inggris? Karena saat itu kami merasa banyak calon pembeli yang lebih suka
sesuatu produk yang berbau asing daripada lokal. Sekaligus harapannya adalah
bisnis startup ini akan berjalan sepanjang usia. Bahkan kami mulai bermimpi utk
meluaskan jenisnya ke kaos, mug dan lain-lain.
Tantangan
Menyusul keberhasilan tsb, Toko Buku Kharisma (TBK) meminta kami meningkatkan
jumlah dan tipe kartu di seri kedua, karena dia berencana ekspansi bisnisnya
dengan membuka cabang cabang baru di berbagai kota di Indonesia di tahun depan.
Hal ini menyebabkan modal yang sudah masuk, harus kami putar kembali untuk seri
kedua dan meminta kelonggaran waktu untuk baru bisa memenuhi permintaan TBK di
serie ke 3. Kenapa? Karena modal kami bertiga tidak cukup dan harus mencari tambahan
modal diluar kami bertiga.
Investor
Kami bertiga sepakat untuk sama sama mencari Investor. Sehingga sambil saya
mendesain seri kedua dan saya mendekati beberapa teman baik sambil memberikan
beberapa contoh sampling dari serie pertama. Dan Tuhan yg Maha Baik menjawab
doa saya dgn ada 2 teman baik saya yg mau menjadi Angel Investor produk kami
dengan syarat harus berbentuk PT dan mereka semua ikut didalamnya. Serta harus
membuat business plan terhadap uang yng disuntikkan didalamnya. Dan disinilah
perpecahan itu terjadi.
Perbedaan.
Ketika membuat business plan (BP), seorang teman membuat sebuah perencanaan,
dimana 100% modal akan dihabiskan dalam tempo 1 tahun. Dengan harapan di awal
tahun kedua, modal sudah kembali 100% ditambah profitnya sehingga bisa menjadi
putaran untuk series berikutnya.
Ketika membaca BP tersebut saya sangat tidak setuju. Karena
kedua angel Investor yang baru itu adalah teman baik saya yang harus saya jaga
amanah-nya. Mereka berdua mau menanamkan modal yang sangat besar karena TRUST
kepada saya pribadi.
Saya pun membuat BP sendiri dengan bentuk hanya 50% modal yang
dipakai untuk perputaran operasional tahun pertama, sehingga masih ada sisa 50%
untuk putaran operasional tahun kedua sambil menunggu modal kembali dan
seterusnya. Namun ternyata saya kalah dalam voting. 3 menyetujui opsi A dan
menolak opsi saya.
Dilema
Terjadi sebuah dilema besar akhirnya yang membuat saya mengalami gangguan tidur
parah selama 1 minggu. Di satu sisi, KU ini adalah bayi saya, karena desain dan
ide KU berasal dari kreatifitas saya. Ketika meluncurkan seri pertama adalah
dengan perjuangan, darah dan airmata. Tapi disisi lain saya merasakan beratnya
amanah yang harus saya tanggung jawab terkait uang milik kedua teman baik saya
yang harus saya jaga dunia dan akhirat. Dan saya harus membuat sebuah
keputusan. Mengikuti impian ataukah mengikuti hati nurani.
Keputusan.
Setelah serie kedua diluncurkan. Akhirnya saya memilih hati nurani. Saya
memilih untuk tidak meneruskan kerjasama saya dengan ketiga teman saya, karena
ternyata ada ketidak samaan visi. Dan mengajak kedua teman baik saya untuk
membatalkan niatnya menyuntik dana di produk kami. Namun ternyata hanya satu
orang yang ikut saya. Saya pun berusaha memohon dengan segala cara, agar teman
baik saya ini mau mendengarkan saya. Tapi dia tetap dengan pendiriannya dan
memutuskan untuk tetap bergabung dengan kedua teman saya tersebut.
Namun dengan kebaikan
hatinya modal awal saya dikembalikan sebagai perhitungan saham saya dibeli
olehnya. Akhirnya saya memutuskan untuk kuliah S2 di ITB Bandung dan melepaskan
impian KU saya tsb ditangan mereka.
Epilog
Untuk melupakan kesedihan, saya tidak menghubungi mereka bertiga selama kuliah,
karena tidak mau mengetahui perkembangannya. Namun tetap selalu mendoakan
keberhasilan KU tersebut. Karena mereka bertiga tetaplah teman baik saya.
Tapi dikemudian hari saya mendapat kabar dari orang lain bahwa
usaha itu telah bubar. Sampai hari ini saya tidak pernah berani menanyakan
sebab sebabnyanya kepada mereka bertiga. Karena hingga saat ini saya masih
berteman baik dengan keduanya, sementara yang seorang menjauh dan tidak pernah
lagi berhubungan dengan saya.
Namun berdasarkan analisa saya, ada beberapa faktor penyebab yang
mungkin berperan. Dan salah satunya adalah kemajuan teknologi. Seiring dengan
telepon seluler yg semakin terjangkau. Kebutuhan orang untuk mengirimkan kartu
ucapan semakin berkurang. Mereka lebih suka mengirim SMS daripada kartu dan
surat. Hal ini menyebabkan bisnis surat menyurat mengalami distorsi dan
penurunan.
Semoga pengalaman pribadi saya ini bisa menjadi pelajaran yang
berharga untuk teman teman WPI. Doa dan harapan saya untuk keberhasilan dan
kesuksesan usaha teman teman semua